Friday 7 September 2012

Berkat Batik, Raih Omset Milyaran Perbulan

Pamor batik makin cemerlang, baik di dalam maupun di luar negeri. Momentum ini tak disia-siakan oleh banyak pelaku industri batik. Mereka memanfaatkannya untuk memperkenalkan berbagai jenis batik inovatif, yang mengikuti perkembangan zaman dan permintaan pasar. Batik Gadis Bali, misalnya, mengusung batik impresionisme sebagai bentuk kreativitas pembuatnya.

Seluruh masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda, tampaknya sudah makin menaruh perhatian kepada batik. Hal itu tentu saja tak luput dari peran para perajin batik yang gencar menciptakan beragam motif, warna, dan desain batik yang inovatif.

Batik inovatif ini masih memegang pakem dasar pembuatan batik. Namun, perajin kemudian mengolaborasikannya dengan berbagai ide kekinian, baik dalam hal pemilihan warna maupun motif batik.

Itulah sebabnya kemudian muncul sebutan batik impresionisme untuk menyebut kombinasi batik tradisional dan modern yang menciptakan corak dan warna batik yang lebih bervariasi.

Salah satu perajin batik modern adalah Gina Sutono. Melalui merek batik Gadis Bali, Gina menciptakan beragam motif dan warna batik yang lebih ekspresif dengan memasukkan karakter warna-warna alam.

Batik buatannya memang terkesan kuat dalam permainan warna. Ia tak segan menggunakan warna merah, ungu, biru, bahkan oranye pada kain batik buatannya. Sementara, motif-motifnya lebih banyak bermain dengan bentuk bunga-bungaan. "Tiap perajin batik pasti memiliki karakter tersendiri dalam membuat batik seperti ini. Sehingga, tidak akan sama hasil batik dari satu perajin dengan batik dari perajin lainnya," katanya.

Gina yang telah tiga tahun menjalankan bisnis batik ini memiliki bengkel pembuatan batik di Solo dan Bali. Dari dua bengkel batiknya itu, ia bisa memproduksi sebanyak 60.000 meter kain batik per bulan.

Harga jual batiknya berkisar Rp 90.000-Rp 120.000 per meter. "Harganya tergantung dari corak dan kerumitan perwarnaannya," ujarnya. Dari harga tersebut, ia mengantongi margin 20%.

Gina memang tak bersedia buka-bukaan secara pasti mengenai besarnya omzet batiknya. Tapi, menilik dari hasil produksinya, jika produksi itu terjual semua, Gina bisa meraup penghasilan minimal sekitar Rp 5,4 miliar per bulan.

Batik impresionisme buatan Gina tidak sepenuhnya melalui buatan tangan. Dalam proses pembuatan motif ia menggunakan proses cap. Sementara ketika proses pewarnaan, barulah menggunakan tangan.

Tak hanya laku di pasaran lokal, batik impresionisme Gina pun banyak dilirik oleh pecinta batik dari luar negeri. Jika tidak ada aral melintang, paruh kedua tahun ini Gina bakal mengekspor batiknya ke Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Rencananya, ia bakal mengirim 60.000 meter batik setiap empat bulan sekali.

Ia mengatakan, margin batik ekspor tidak setinggi penjualan batik di dalam negeri. Tapi, kuantitas pengiriman dan pengulangan order tiap kuartal bakal menutup tipisnya margin yang ia dapat.

Perajin batik modern asal Pekalongan, Suliro Agiyoso, menambahkan, penciptaan motif batik modern seperti ini tergantung dari kreativitas masing-masing perajin. Lantaran Suliro berasal dari Pekalongan, batik modernnya sedikit banyak terpengaruh motif khas daerah ini.

Suliro mempertahankan warna-warna batik yang cerah dengan perpaduan banyak warna. Sementara, motif batik buatannya tak hanya menggunakan motif-motif yang sudah begitu terkenal seperti parang, kawung ataupun sekar jagat.

Ia mampu menciptakan motif batik yang terinspirasi dari alam. Salah satunya motif sinar matahari.

Tak hanya batik cap dan batik cetak yang ia produksi. Suliro juga membuat batik tulis.

Berbeda dengan Gina, Suliro sudah menjual batiknya dalam bentuk pakaian jadi. Dalam sebulan Suliro bisa memproduksi 100 potong pakaian batik tulis.

Untuk batik cap kapasitas produksinya 600 potong per bulan. Sementara kapasitas produksi batik cetak sebanyak 250 potong per bulan.

Untuk batik tulis, harga jualnya Rp 85.000 per potong. Sementara, batik cetak harganya berkisar Rp 45.000 per potong dan sekitar Rp 65.000 per potong untuk batik cap. "Dari semua itu yang paling banyak laku adalah pakaian batik tulis," katanya.

Rata-rata tiap jenis batik buatannya mampu terjual sekitar 100 unit per bulan. Omzetnya sekitar Rp 20 juta per bulan. "Tapi, jika ada pesanan omzetnya bisa lebih besar dari itu," imbuhnya.

Bulan lalu saja, Suliro mendapatkan pesanan sebanyak 600 potong pakaian batik cetak. Dari pesanan tersebut, ia mendapat omzet sebesar Rp 27 juta.

Omzetnya tersebut juga belum termasuk pemasukan dari penjualan ritel yang ia jalankan secara online melalui website.

Helmy Nor Amien, pemilik batik Prada Noer di Solo, bilang, tiap kota di Indonesia memang memiliki ketertarik-an tersendiri terhadap batik.
Pada dasarnya, pasar Jakarta, Sumatra, dan luar negeri sudah lebih bisa menerima jenis batik modern yang penuh warna dan inovasi motif. "Sementara, seperti masyarakat Solo dan Yogyakarta masih lebih menyukai jenis batik yang tidak terlalu banyak keluar dari pakemnya," kata Helmy.

Masih sekitar 40% dari seluruh kapasitas produksi batiknya yang memasukkan unsur modern di dalamnya. "Tapi, prospek batik modern bagus karena bisa mengikuti perkembangan selera pasar," ujar Helmy.

Dari harga jual batiknya, Helmy menyasar kalangan menengah ke atas. Untuk harga pakaian batik tulis yang diproduksi Batik Prada Noer antara Rp 100.000-Rp 1 juta. Sementara, untuk batik prada yang berasal dari printing atau cap maksimal harganya Rp 500.000 per kain. Panjang kain antara 2,3 meter (m) sampai 2,5 m.

Ada pula Alis Widodo (32) yang menukik saat mendengar kata zat pewarna tekstil sintetis. Ia "antipati" terhadap zat warna itu karena membuat proses pewarnaan kain batik tidak ramah lingkungan. Akibatnya, pamor kesahajaan batik pun terus memudar hingga batik mulai sulit mendapat tempat di pasar internasional.

Pada awalnya pria yang tinggal di Dusun Kenteng, Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo, DI Yogyakarta, ini tidak menganggap pewarna tekstil sintetis sebagai masalah. Selain harganya murah dan amat mudah digunakan, zat warna ini membuat batik juga terlihat semakin cemerlang.

"Belakangan saya baru sadar, ternyata di balik kecerahan warna kain batik modern, terdapat kekejaman terhadap alam yang luar biasa," tutur Widodo, yang sebelumnya bekerja membantu orangtua memasarkan produk tanah pertanian mereka.

Ia mengetahui kondisi tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada masa itu isu lingkungan hidup kerap menghiasi pemberitaan media massa. Salah satu yang paling santer adalah pencemaran sungai akibat proses pencelupan batik di sentra pembuatan kerajinan batik tradisional, seperti di Solo, Pekalongan, dan sejumlah kota besar lainnya di Jawa Tengah.

Membaca dan mendengar berita-berita itu, ia mengaku jengah. Selaku pencinta batik, ia tak rela kain warisan nenek moyang itu mendapat predikat buruk akibat tak ramah lingkungan.

"Tohokan terbesar saya rasakan pada tahun 1996. Ketika itu ada kabar Pemerintah Belanda menolak kehadiran batik. Alasannya, kain batik kita tak ramah lingkungan. Padahal, setahu saya, orang Belanda itu gandrung dengan batik kita," kata ayah satu anak ini.

Tindakan nyata

Mulai saat itulah ia berpikir harus melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan citra batik. Satu kunci sederhana adalah kain batik kembali diberi warna dengan menggunakan zat pewarna dari alam.

Langkah awal yang dia lakukan adalah mempelajari jenis-jenis pewarna batik alami. Ada tiga warna utama yang menjadi ciri khas dari batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta, yakni sogan (coklat), biru, dan hitam.

Warna sogan belakangan diketahuinya berasal dari hasil rebusan kulit batang pohon mahoni. Sementara hitam adalah hasil perpaduan sogan dan biru. Lalu, bagaimana dengan warna biru?

"Pada awal tahun 2000 setelah membaca banyak buku, saya baru tahu kalau warna biru itu dihasilkan dari tanaman indigo atau dikenal sebagai daun tom," ceritanya.

Pada awal tahun 1800-an Pemerintah Hindia Belanda pernah mendirikan pabrik pewarna kain di Kulon Progo, tepatnya di Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, dan Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Pewarna biru adalah komoditas utamanya. Sebagai bahan baku digunakan daun tom (indigofera tinctoria) yang banyak tumbuh di sekitar pabrik.

Proses pembelajarannya belum selesai. Selama dua tahun ia terus bereksperimen dengan daun tom agar bisa menghasilkan warna biru seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia "berguru" pada cerita-cerita masyarakat yang sanak familinya pernah bekerja di pabrik pewarna kain.

"Warna biru itu diperoleh dari hasil fermentasi air rendaman daun tom yang mengalami oksidasi setelah dicampur kapur gamping," katanya.

Sukses menemukan kembali formula pasta warna biru, sekitar tahun 2003 dia mulai memproduksi batik warna alami. Ia mengambil kain-kain berpola yang sudah ditutupi dengan lilin malam di sekitar daerah Giriloyo, Imogiri, Bantul. Kain-kain itulah yang kemudian diwarnai dan dilorot (dihilangkan) lilin malamnya.

Proses ini tak kalah melelahkan. Agar mendapat warna biru gelap, misalnya, kain dicelupkan ke dalam pewarna hingga belasan kali. Demikian juga dengan penggunaan warna lain.

"Semua proses itu awalnya saya lakukan sendiri. Tak mudah mengajak orang yang mau bersusah-susah menghasilkan batik warna alami. Apalagi hasil pewarnaan alami tidak sebagus pewarna buatan. Banyak yang khawatir batik yang dihasilkan itu tidak laku," tuturnya.

Warna kusam

Kenyataan menghapus kekhawatiran itu. Batik alami banyak dicari orang, terutama turis asing. Warna kain batik yang kusam dan lembut justru menjadi daya tarik nostalgia bagi mereka. Widodo menangkap peluang ini.

Kerumitan proses dan kealamian warnanya telah membuat batik produksinya laris dengan harga tinggi. Selendang kain batik dengan bahan dasar sutra, misalnya, bisa laku dijual sekitar Rp 350.000 per potong.

Selain menjual kain batik, Widodo juga membuat pasta-pasta pewarna biru indigo. Pasta pewarna yang dia jual seharga Rp 40.000 per kilogram ini kemudian banyak dipesan desainer kain batik asal Ibu Kota dan pemilik-pemilik gerai batik yang tersebar di Kota Yogyakarta serta Solo. Dalam sebulan dia bisa menjual lebih dari 20 kilogram, baru dari pewarna biru indigo.

Sedikit demi sedikit Widodo lalu mengumpulkan modal untuk terus mengeksplorasi kekayaan warna kain alami. Daun mangga bisa diolahnya hingga menghasilkan warna hijau muda, sementara buah pinang akan menciptakan warna merah. Bahkan, kotoran sapi sekalipun bisa dia manfaatkan untuk mendapat warna kuning emas.

Widodo pun tidak lagi harus bekerja sendiri. Untuk memenuhi pesanan pasar yang terus berdatangan, dia merekrut pemuda di desanya sebagai tenaga pewarna batik. Dengan begitu dia bisa menularkan semangat menjaga kelestarian batik kepada generasi muda, selain berbagi rezeki dengan mereka.

Untuk tenaga khusus pewarna ada 1-2 orang yang membantunya, sedangkan untuk mencelup ada 15 orang. Tetapi, pada saat pesanan kain batik meningkat, seperti belakangan ini, dia akan menambah jumlah orang yang membantunya. Mereka yang bekerja sebagai pencelup mendapat upah Rp 15.000-Rp 20.000 untuk selembar kain.

Ketekunan dan kesetiaan Widodo dengan bahan-bahan pewarna alami membuatnya semakin dikenal. Maka, mulai tahun 2005 dia diminta membantu sosialisasi penggunaan pewarna alami oleh Paguyuban Pencinta Batik Indonesia "Sekar Jagad" Yogyakarta.

"Saya hanya berbagi pengalaman. Sekarang ini sudah banyak sentra kerajinan batik yang kembali memakai pewarna alami, seperti di Bantul, Gunung Kidul, kemudian juga di Tegal dan Semarang," ungkapnya senang.

Untuk memasarkan produknya, batik berpewarna alami, Widodo mengakui bahwa keterlibatannya dalam Paguyuban Pencinta Batik Indonesia "Sekar Jagad" Yogyakarta amat besar pengaruhnya.

"Paguyuban sering menggelar pameran-pameran. Saya ikutkan batik berpewarna alami itu dalam setiap pameran," katanya. Apalagi pameran pun semakin kerap digelar, terutama pascagempa yang melanda Yogyakarta, 27 Mei 2006 sumber: www. suaramedia.com

1 comment: