Tuesday 24 December 2013


Berburu Kertas dan Botol Bekas

Tak pernah terpikir oleh Irene akan menjadi pemilik dan pendiri PT. Recycle Indonesia Utama Mandiri (Recyclindo), perusahaan yang menyediakan solusi menciptakan lingkungan hidup yang bersih. Recyclindo menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis zero waste management. “Kalaupun mimpi punya bisnis, saya ingin berbisnis kuliner atau restoran, karena bidang saya F&B,” ujar wanita kelahiran 29 April 1974 ini.

Lantas, apa yang membuatnya tertarik pada masalah sampah hingga mau nyemplung dan menjadikannya sebagai ladang bisnis? Sejak lama ia prihatin melihat perilaku masyarakat yang cenderung cuek pada sampah. Kepeduliannya ini kemudian diwujudkan dengan membeli sampah dari staf housekeeping hotel, berupa kertas, botol, dan kaleng aluminium, untuk kemudian dijual lagi.

Irene lalu mulai belajar cara mengolah sampah dengan mengambil kursus 3 hari intensif mengenai zero waste management di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). “Dari kursus itu, wawasan saya makin terbuka tentang apa yang bisa saya lakukan pada sampah.”

Saat mengambil kursus itu, ada pengalaman yang membekas, antara lain kunjungan ke tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Bekasi, dan rumah jagal DKI di Cakung. Di Bantar Gebang, Irene tertegun melihat berbukit-bukit sampah. “Saya sempat ‘mabuk’, mungkin karena tidak terbiasa mencium bau sampah. Apalagi, saya alergi terhadap debu,” kenangnya.

Lain lagi pengalaman yang ia peroleh saat mendatangi rumah jagal DKI, tempat pemotongan hewan. Di dekat situ ada tempat pengomposan dari bahan sisa daging. “Ya, ampun, baunya tajam dan menyengat! Setelah kunjungan itu, saya langsung jatuh sakit. Tapi, dalam 3 hari itu banyak sekali pelajaran berharga yang saya peroleh,” tutur Irene.
Usahanya berjalan setahap demi setahap. Dari awalnya berburu sampah kering, naik truk dengan membawa tas kresek ke mana-mana, sampai akhirnya ia punya langganan pemasok. Ia mendapat kontrak untuk mengangkut sampah non-organik. Sisanya masih
dibuang ke tempat pembuangan milik Pemda.

Ia tak segan merogoh kocek Rp100 jutaan sebagai modal awal, antara lain untuk membeli truk second-hand dan menyewa lahan sebagai gudang. “Mengolah sampah organik itu tidak mudah. Untuk itu, kami perlu lahan lebih luas. Kalau salah, nanti bisa-bisa dikomplain tetangga,” ujar Irene, yang mengambil lokasi di kawasan Cinangka, Sawangan, Depok.

Irene mulai mencari lahan baru di daerah Parung, Bogor. Ia ingin lebih memaksimalkan pengolahan sampah. Sejak akhir 2009, di tempat barunya itu ia mulai mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. “Learning by doing. Kami hire konsultan untuk memastikan proses yang kami lakukan ini sudah benar. Misalnya, kompoisi dan kelelembapannya. Kompos harus selalu basah, supaya cepat busuk.”

0 komentar:

Post a Comment